JAKARTA - Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Perisai Kebenaran H.Sugeng,SH.,MSI angkat bicara terkait perkara penetapan tersangka pada pelapor kasus dugaan tindak pidana korupsi di Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, bernama Nurhayati. Diketahui kasus tersebut viral di berbagai kanal media pemberitaan juga platform media sosial hingga terus bergulir sampai saat ini.
Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Perisai Kebenaran H.Sugeng,SH.,MSI mengatakan Nurhayati yang merupakan Bendahara Desa Citemu itu sebagai "Whistleblower" karena dia orang yang memberikan informasi kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Citemu mengenai dugaan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan Kepala Desa Citemu Supriyadi dari tahun 2018 hingga 2020.
"Nurhayati itu sebetulnya bisa sebagai whistleblower," katanya sebagaimana release yang diterima bacanews.info, Rabu (23/2).
Ketua Umum Forum Nasional Bantuan Hukum (Fornas-Bankum) itu menjelaskan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berdasarkan Permendagri No.110/2016 Pasal 31 memiliki fungsi pertama membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, kedua menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, ketiga melakukan pengawasan kinerja kepala desa.
Dengan demikian, lanjut Sugeng, laporan Nurhayati kepada BPD mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu yang kemudian oleh BPD dilanjutkan kepada pihak kepolisian, itu sudah tepat.
"Sudah tepat dan sudah sesuai dengan fungsi pengawasan yang dimiliki BPD atas kinerja kepala desa," imbuh orang nomor satu di lembaga yang menggondol akreditasi "A" selama 4 periode berturut-turut tanpa jeda itu.
Sugeng juga menyampaikan terkait Surat Edaran Mahkamah Agung No.04/2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (WhistleBlower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators/JC) di dalam perkara tindak pidana tertentu. Menurut Sugeng substansi dan inti surat edaran Mahkamah Agung itu whistleblower, pelapor tindak pidana harus mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan khusus.
"Perlindungan hukum dan perlakuan khusus, bukan ditetapkan menjadi tersangka ya," ujarnya.
Dikatan pula oleh Sugeng, perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborators/JC) telah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No.13/2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Yakni sebagai berikut, dalam ayat (1). Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikannya.
Dan, dalam ayat (2). Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti syah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana.
Sugeng pun menyampaikan untuk perkara Nurhayati karena whistleblower harusnya mendapat perlindungan hukum, penghargaan serta apresiasi. (tro).